Jumat, 19 Desember 2008

Hasil Wawancara Andri FKIP/P. Matematika Sem VC dan kelompok

Hasil Wawancara
Dengan Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM)
Desa Kledung Kradenan, kecamatan Banyuurip, kabupaten Purworejo

  1. Sejarah PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah) di desa Kledung Kradenan kecamatan Banyuurip, kabupaten Purworejo
    Embrio PRM (Pimpinan Ranting Muhammadiyah) desa Kledung Kradenan, Banyuurip, Purworejo sudah ada sejak adanya PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah) di Kabupaten Purworejo. Adapun secara resminya PRM desa Kledung Kradenan ini berdiri bersamaan dengan berdirinya PCM (Pimpinan Cabang Muhammadiyah) Banyuurip yaitu pada awal tahun 2002.
    Kemudian sampai dengan tahun 2008 di Kecamatan Banyuuurip yang terdiri dari 27 desa, berdiri 5 buah ranting, yang merupakan PRM Kledung Kradenan, Kledung Karang Dalem, Wangunrejo, Banyuurip, dan Boro Kulon. Di daerah tersebut, para simpatisan atau pendukung dakwah Muhammadiyah kebanyakan dari masyarakat pendatang, sedangkan orang-orang pribumi masih sangat sedikit, karena masyarakat pribumi masih mengedepankan tradisi-tradisi lokal atau adat, yang mana tindakan-tindakan tersebut masih sangat kental kaitannya dengan pengaruh Hinduisme (Animisme dan Dinamisme) padahal hal-hal itu menjadi titik krusial yang akan ditegakkan Muhammadiyah, yang erat kaitannya dengan TBC (Takhayul, Bid’ah dan Churofat). Contoh : di daerah Kledung Kradenan tersebut telah berjalan tradisi “wayangan” setiap bulan rajab yang di masuki dengan niat-niat kemusyrikan. Masyarakat beranggapan jika tradisi tersebut tidak dijalankan, maka akan terjadi malapetaka atau suatu hal yang tidak diharapkan masyarakat seperti halnya musibah dll.
  2. Struktur Organisasi PRM di desa Kledung Kradenan
    Struktur organisasi yang telah terbentuk di dalam PRM setempat masih sangat sederhana, yakni masih terdiri dari pengurus harian, seperti :
    § Ketua PRM : Bpk. Ahmat Jaenudin
    § Sekretaris : Bpk. Bambang
    § Bendahara : Bpk. Tumirin
    Sementara bidang-bidang lazim di Muhammadiyah seperti PKU Muhammadiyah, tabligh itu belum ada, karena selama ini para pengurus masih dalam upaya memperkuat PRM. Selain menjabat sebagai ketua PRM, bapak Jaenudin juga sekaligus menjabat sebagai ketua PCM di daerah Kledung Kradenan sehingga lebih memfokuskan bagaimana cara menggerakkan PCM.
  3. Kekuatan dan Kelemahan dakwah Muhammadiyah
    Adapun kekuatan dakwah Muhammadiyah di desa Kledung Kradenan antara lain :
    a. Ditinjau dari segi personalia
    Niat dari para pendakwah yang ikhlas dan semata-mata hanya mencari ridha Allah SWT.
    Strata ekonomi para personalia alhamdulillah termasuk golongan menengah ke atas dan juga bermata pencaharian yang mempunyai status sosial seperti misalnya pegawai negeri, guru, pengusaha dan sebagainya. Paling tidak dengan nilai itu mereka dapat menfokuskan tujuan diri untuk dakwah yang benar-benar ikhlas lillahi ta’ala bukan untuk profesi ekonomi.
    Personalia para pendakwah Muhammadiyah termasuk orang-orang yang berpendidikan tinggi sehingga korelasional dan emotional mereka lebih matang dalam kaitannya dengan tingkat adaptasi dakwah mereka.
    b. Ditinjau dari segi finansial
    Dengan personalia yang bergolongan ekonomi menengah ke atas tersebut dapat menjadikan simpatisan mengikhlaskan dirinya dalam berdakwah. Selain itu, mereka juga ikhlas menafkahkan sebagian harta mereka di jalan Allah SWT. Contoh konkretnya yaitu telah dibangun Panti Asuhan dan juga playgroup Aisiyah di daerah Banyuurip dan TK Aisiyah di daerah Wangunrejo. Oleh karena itu, masalah atau kendala finansial dapat atasi bersama-sama meskipun belum begitu optimal.
    Adapun kelemahan dakwah Muhammadiyah di PRM daerah setempat adalah lingkungan mereka yang relatif belum kondusif (dengan adanya tokoh-tokoh non Muhammadiyah yang melakukan pergerakan tidak sekedar bersama-sama fastabiqul khoirot, tetapi juga menganggap bahwa Muhammadiyah sebagai saingan. Dengan asumsi bahwa mereka tidak ingin kehilangan pengaruh serta tidak ingin kehilangan peluang ekonomi. Secara singkat golongan non-Muhammadiyah tidak mendukung misi dakwah Muhammadiyah, bahkan mereka menganggap sebagai saingannya.
  4. Keberlanjutan dakwah Muhammadiyah di PRM Kledung Kradenan
    PRM Kledung Kradenan sedang merintis sub-sub ranting. Adapun dakwah Muhammadiyah yang selama ini telah berjalan, antara lain : diadakannya pengajian setiap malam jumat kliwon dan pengajian setiap minggu pagi di masjid Khusnul Khotimah dan di Mushola pengadilan negeri Purworejo setiap bulan Ramadhan.
    Di lain tempat juga sedang dirintis beberapa simpatisan atau anggota Muhammadiyah yang terdiri dari :
    § Lingkungan I : Desa Plahan (Ngaglag)
    § Lingkungan II : Desa kledung Kradenan
    § Lingkungan III : Belakang pengadilan negeri
    § Lingkungan IV : Juru Tengah
    § Lingkungan V : Daerah perbatasan Sucen
1. IJTIHAD
Ijtihad (Arab: اجتهاد) adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Menurut bahasa, ijtihad berarti (bahasa Arab اجتهاد) Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:
“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)
artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi. Dalam pengertian ini Nabi mengungkapkan kata-kata:

“Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua”

artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”
Demikian dengan kata Ijtihad “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan. Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.
Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.” Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas. Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fxqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2) Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3) Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanyaberlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.


Definisi Ijtihad
Secara literal, kata ijtihâd merupakan pecahan dari kata jâhada, yang artinya badzlu al-wus‘i (mencurahkan segenap kemampuan). (Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, hlm.114). Ijtihad juga bermakna, “Istafrâgh al-wus‘i fî tahqîq amr min al-umûr mustalzim li al-kalafat wa al-musyaqqaq.” (mencurahkan seluruh kemampuan dalam men-tahqîq (meneliti dan mengkaji) suatu perkara yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan). (Al-Amidi, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, II/309).
Di kalangan ulama ushul, ijtihad diistilahkan dengan, “istafrâgh al-wus‘î fî thalab adz-dzann bi syai’i min ahkâm asy-syar‘iyyah ‘alâ wajh min an-nafs al-‘ajzi ‘an al-mazîd fîh (mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan.” (Al-Amidi, ibid., hlm. 309. Lihat juga: an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, I/197).
Berdasarkan definisi di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu. Dengan kata lain, suatu aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga poin berikut ini:
Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Menurut al-Amidi, hukum-hukum yang sudah qath‘i (pasti) tidak digali berdasarkan proses ijtihad. Artinya, ijtihad tidak berhubungan atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath‘i, tetapi hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Atas dasar itu, ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara akidah maupun hukum-hukum syariat yang dalilnya qath‘i; misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, hukum razam/cambuk bagi pezina, hukum bunuh bagi orang-orang yang murtad, dan lain sebagainya.
Kedua, ijtihad adalah proses menggali hukum syariat, bukan proses untuk menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma‘qûlât) maupun perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsûsât). Penelitian dan uji coba di dalam laboratorium hingga menghasilkan sebuah teorema maupun hipotesis tidak disebut dengan ijtihad.
Ketiga, ijtihad harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan puncak tenaga dan kemampuan hingga taraf tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari apa yang telah dilakukan. Seseorang tidak disebut sedang berijtihad jika ia hanya mencurahkan sebagian kemampuan dan tenaganya, padahal ia masih mampu melakukan upaya lebih dari yang telah ia lakukan. (Al-Amidi, op.cit., II/309).
Ijtihad berbeda dengan tarjîh maupun baths al-masâ’il. Tarjîh adalah aktivitas untuk meneliti, mengkaji, dan menetapkan mana pendapat yang paling râjih (kuat) di antara pendapat-pendapat yang ada. Baths al-masâ’il tidak berbeda dengan tarjîh, meskipun kadang-kadang juga dilakukan pembahasan-pembahasan hukum-hukum tertentu berdasarkan kaidah-kaidah ijtihad. Akan tetapi, aktivitas semacam ini dilakukan secara berkelompok, bukan individual. Padahal, ijtihad adalah aktivitas individual, bukan aktivitas kelompok.

Fungsi Ijtihad
Meski al quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh al quran maupun al hadist. selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya al quran dengan kehidupan modern. sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan ajaran islam dalam kehidupan beragama sehari-hari.
Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam al quran atau al hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam al quran atau al hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam al quran dan al hadist, pada saat itulah maka umat islam memerlukan ketetapan ijtihad. Tapi yang berhak membuat ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham al quran dan al hadist.
Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut :
§ Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
§ Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
§ Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan � ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
§ Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
§ Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
Cara ber-Ijtihad
Dalam melaksanakan ijtihad, para ulama telah membuat methode-methode antara lain sebagai berikut :
1. Qiyas = reasoning by analogy
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum diterangkan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, dengan dianalogikan kepada hukum sesuatu yang sudah diterangkan hukumnya oleh al-Qur'an / as-Sunnah, karena ada sebab yang sama. Contoh : Menurut al-Qur'an surat al-Jum'ah 9; seseorang dilarang jual beli pada saat mendengar adzan Jum'at. Bagaimana hukumnya perbuatan-perbuatan lain ( selain jual beli ) yang dilakukan pada saat mendengar adzan Jum'at ? Dalam al-Qur'an maupun al-Hadits tidak dijelaskan. Maka hendaknya kita berijtihad dengan jalan analogi. Yaitu : kalau jual beli karena dapat mengganggu shalat Jum'at dilarang, maka demikian pula halnya perbuatan-perbuatan lain, yang dapat mengganggu shalat Jum'at, juga dilarang. Contoh lain : Menurut surat al-Isra' 23; seseorang tidak boleh berkata uf ( cis ) kepada orang tua. Maka hukum memukul, menyakiti dan lain-lain terhadap orang tua juga dilarang, atas dasar analogi terhadap hukum cis tadi. Karena sama-sama menyakiti orang tua. Pada zaman Rasulullah saw pernah diberikan contoh dalam menentukan hukum dengan dasar Qiyas tersebut. Yaitu ketika � Umar bin Khathabb berkata kepada Rasulullah saw : Hari ini saya telah melakukan suatu pelanggaran, saya telah mencium istri, padahal saya sedang dalam keadaan berpuasa. Tanya Rasul : Bagaimana kalau kamu berkumur pada waktu sedang berpuasa ? Jawab �Umar : tidak apa-apa. Sabda Rasul : Kalau begitu teruskanlah puasamu.
2. Ijma' = konsensus = ijtihad kolektif.
Yaitu persepakatan ulama-ulama Islam dalam menentukan sesuatu masalah ijtihadiyah. Ketika �Ali bin Abi Thalib mengemukakan kepada Rasulullah tentang kemungkinan adanya sesuatu masalah yang tidak dibicarakan oleh al-Qur'an dan as-Sunnah, maka Rasulullah mengatakan : " Kumpulkan orang-orang yang berilmu kemudian jadikan persoalan itu sebagai bahan musyawarah ". Yang menjadi persoalan untuk saat sekarang ini adalah tentang kemungkinan dapat dicapai atau tidaknya ijma tersebut, karena ummat Islam sudah begitu besar dan berada diseluruh pelosok bumi termasuk para ulamanya.
3. Istihsan = preference
Yaitu menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas dasar prinsip-prinsip umum ajaran Islam seperti keadilan, kasih sayang dan lain-lain. Oleh para ulama istihsan disebut sebagai Qiyas Khofi ( analogi samar-samar ) atau disebut sebagai pengalihan hukum yang diperoleh dengan Qiyas kepada hukum lain atas pertimbangan kemaslahatan umum. Apabila kita dihadapkan dengan keharusan memilih salah satu diantara dua persoalan yang sama-sama jelek maka kita harus mengambil yang lebih ringan kejelekannya. Dasar istihsan antara lain surat az-Sumar 18.

4. Mashalihul Mursalah = utility
yaitu menetapkan hukum terhadap sesuatu persoalan ijtihadiyah atas pertimbangan kegunaan dan kemanfaatan yang sesuai dengan tujuan syari'at. Perbedaan antara istihsan dan mashalihul mursalah ialah : istihsan mempertimbangkan dasar kemaslahan ( kebaikan ) itu dengan disertai dalil al-Qur'an / al-Hadits yang umum, sedang mashalihul mursalah mempertimbangkan dasar kepentingan dan kegunaan dengan tanpa adanya dalil yang secara tertulis exsplisit dalam al-Qur'an / al-Hadits.

Sebagaimana istilah jihad, istilah ijtihad sering mengalami reduksi, bahkan manipulasi. Dengan kata lain, makna hakiki ijtihad sering menjadi sangat bias dan menyimpang jauh. Akibatnya, di antara kaum Muslim, ketika melontarkan suatu pendapat, banyak yang dengan enteng mengklaim bahwa itu adalah ‘ijtihad’-nya; padahal dia jauh dari karakteristik sebagai mujtahid. Ini tidak lain karena ada semacam kebiasaan buruk di tengah-tengah kita, yakni sering memaknai suatu istilah khas Islam hanya dilihat dari sisi bahasanya semata, bukan dari pemahaman syar‘i-nya. Oleh karena itu, Telaah Kitab kali ini bermaksud meluruskan kembali makna ijtihad, dengan merujuk pada penjelasan yang ada dalam kitab, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, I/197, karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, di samping yang terdapat dalam beberapa kitab yang lain. Selamat membaca!
Lingkup Ijtihad
Sebagaimana definisi ijtihad di atas, lingkup ijtihad hanya terbatas pada penggalian hukum syariat dari dalil-dalil dzanni. Ijtihad tidak boleh memasuki wilayah yang sudah pasti (qath‘i), maupun masalah-masalah yang bisa diindera dan dipahami secara langsung oleh akal.
Di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang jelas penunjukkannya (qath‘i), ada pula yang penunjukkannya zhanni. Ijtihad tidak boleh dilakukan pada ayat-ayat yang jelas (qath‘i) maknanya, misalnya masalah-masalah akidah, kewajiban shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Perkara-perkara semacam ini bukanlah lingkup ijtihad. Sebab, masalah-masalah seperti ini sudah sangat jelas dan tidak boleh ada kesalahan di dalamnya. Siapa saja yang salah dalam mempersepsi perkara-perkara yang sudah qath‘i, maka ia telah terjatuh dalam dosa dan berhak mendapatkan azab Allah Swt. Sebaliknya, kesalahan dalam perkara-perkara ijtihadiah (zhanni) tidak akan menjatuhkan pelakunya dalam dosa dan maksiyat. (Al-Amidi, ibid., II/311).
Ijtihad hanya terjadi dan berlaku pada wilayah furû‘ (cabang) dan zhanni. Perkara-perkara semacam ini disebut perkara ijtihadiah. Disebut demikian karena ia masih membuka ruang terjadinya perbedaan interpretasi. Adapun perkara yang melibatkan dalil qath‘i, tidak boleh disebut sebagai perkara ijtihadiah.
Haramnya memilih kepala negara yang berhaluan sekular dan tidak mendukung penerapan syariat Islam bukanlah perkara ijtihadiah. Sebab, kebatilan dan pertentangan sekularisme dengan Islam adalah perkara qath‘i. Kewajiban menerapkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara juga merupakan perkara yang pasti dan tidak boleh ada perselisihan. Kewajiban menegakkan kembali Khilafah Islamiyah juga merupakan perkara pasti yang tidak boleh ada perbedaan di kalangan Muslim.
Sayangnya, sebagian orang malah menolak penerapan syariat Islam dan penegakkan Khilafah Islamiah dengan dalih ijtihad dan ijtihadiah. Mereka menganggap bahwa perbedaan dalam masalah semacam ini masih dalam kategori boleh. Alasannya, masing-masing orang mempunyai ijtihad sendiri-sendiri dan sah-sah saja jika hasil ijtihadnya berbeda. Akibatnya, umat tidak bisa memilah mana pendapat yang telah menyimpang dari syariat Islam dan mana pendapat yang masih terkategori pendapat islami. Ketika disampaikan bahwa berhukum dengan aturan Allah merupakan kewajiban, dengan entengnya mereka menyatakan, “Itu kan ijtihad Anda? Kami mempunyai pendapat dan ijtihad sendiri dalam masalah ini. Jika kami berbeda dengan Anda, Anda tetap harus menghargai pendapat kami, dan tidak boleh menyalahkan kami. Bukankah salah dalam ijtihad tidak berdosa?”
Semua ini diakibatkan karena umat tidak lagi memahami lingkup ijtihad; mana yang terkategori perkara ijtihadiah dan mana yang bukan. Akhirnya, umat tidak bisa membedakan pendapat islami dan pendapat yang telah menyimpang dari akidah dan syariat Islam.

Syarat-syarat Mujtahid
Seseorang layak untuk berijtihad jika telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:
Pertama, memahami dalil-dalil sam‘i (naqli) yang digunakan untuk membangun kaidah-kaidah hukum. Yang dimaksud dengan dalil sam‘i adalah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. Seorang mujtahid harus memahami al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma berikut klasifikasi dan kedudukannya. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk memahami, menimbang, mengkompromikan, serta men-tarjîh dalil-dalil tersebut jika terjadi pertentangan. Kemampuan untuk memahami dan dalil-dalil sam‘i dan menimbang dalil-dalil tersebut merupakan syarat pokok bagi seorang mujtahid.
Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu makna yang sejalan dengan pemahaman orang Arab dan dipakai oleh para ahli balâghah (retorika bahasa Arab).
Seorang mujtahid disyaratkan harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk memahami makna suatu kata, makna balâghah-nya, dalâlah-nya, pertentangan makna yang dikandung suatu kata, serta mana makna yang lebih kuat—setelah dibandingkan dengan riwayat tsiqqah dan perkataan ahli bahasa. Seorang mujtahid tidak cukup hanya mengerti dan menghapal arti sebuah kata berdasarkan pedoman kamus. Akan tetapi, ia harus memahami semua hal yang berkaitan dengan kata tersebut dari sisi kebahasaan. (An-Nabhani, op.cit., I/213-216. Lihat juga: Al-Amidi, op.cit. II/309-311).

Kesalahan Persepsi Seputar Ijtihad
Pertama, sebagian kaum Muslim memahami bahwa semua orang berhak dan layak melakukan ijtihad. Mereka berdalil bahwa setiap mukallaf dibekali Allah dengan akal yang sama dan setiap Mukmin wajib mengerti hukum syariat berdasarkan pemahamannya sendiri. Untuk itu, setiap orang berhak melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya bisa jadi salah.
Mereka juga beralasan bahwa ijtihad harus tetap ada hingga Hari Kiamat untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang terus berkembang. Untuk itu, jika setiap orang tidak diberi hak berijtihad, tentu akan terjadi stagnasi ijtihad. Padahal, stagnasi ijtihad tidak boleh terjadi di tengah-tengah masyarakat Islam.
Benar, setiap Muslim diperintahkan untuk terikat dengan aturan Allah Swt. Seseorang tidak mungkin bisa terikat dengan aturan Allah jika ia tidak mengerti hukum syariat. Padahal, jalan satu-satunya untuk menggali hukum adalah ijtihad. Oleh karena itu, adanya ijtihad merupakan kewajiban bagi kaum Muslim. Namun demikian, ijtihad—sebagaimana definisinya—adalah aktivitas yang sangat sulit dan berat. Ijtihad juga membutuhkan syarat-syarat yang tidak mudah. Hanya orang-orang yang memiliki kelayakan dan kemampuan saja yang berhak melakukan ijtihad. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan kelayakan tentu tidak akan mampu melakukan ijtihad sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Jika ia memaksakan diri berijtihad, tentu saja hukum yang ia gali lebih banyak didasarkan pada hawa nafsunya, bukan didasarkan pada dalil-dalil syariat dan kaidah istinbâth yang benar. Padahal Allah Swt. melarang kaum Muslim berhukum berdasarkan hawa nafsunya.
Ijtihad memang harus dilakukan hingga akhir zaman untuk mejawab persoalan-persoalan baru yang tidak ditemukan pada masa sebelumnya. Akan tetapi, ini tidak berarti semua orang memiliki hak untuk melakukan ijtihad dengan alasan agar ijtihad tidak mandeg. Syarat-syarat kelayakan untuk melakukan ijtihad tetap harus dipenuhi. Orang yang tidak memiliki kemampuan dan memenuhi syarat-syarat ijtihad dilarang melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pintu ijtihad tertutup bagi orang yang tidak memenuhi syarat kelayakan ijtihad.
Kedua, dengan dalih ijtihad dan masalah ijtihadiah banyak orang yang akhirnya bersifat permissive terhadap keragaman pendapat. Padahal, tidak jarang perbedaan pendapat dalam masalah itu sudah menyangkut hal-hal yang bersifat qath‘i, bukan lagi zhanni. Contohnya perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim tentang sistem pemerintahan Islam. Ada sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa penerapan Islam bisa diwujudkan dalam koridor sistem pemerintahan apapun, baik republik, kekaisaran, federasi, dan sebagainya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa syariat Islam tidak harus diterapkan secara struktural dan formal, yang penting adalah substansi dan nilai-nilainya. Sebagian lagi berpendapat bahwa penerapan syariat Islam boleh dilakukan secara bertahap, bukan serentak. Perbedaan-perbedaan pendapat dalam hal semacam ini sesungguhnya adalah perbedaan pendapat yang dilarang dalam Islam. Sebab, masalah sistem pemerintahan di dalam Islam bukanlah termasuk masalah ijtihadiah. Nash-nash syariat yang sharîh (jelas) telah menyatakan bahwa sistem pemerintahan di dalam Islam adalah Khilafah Islamiyah, bukan sistem yang lain.
Ketiga, dengan alasan ijtihadiah juga sebagian kaum Muslim telah menutup diri dari pendapat lain. Dengan kata lain, mereka enggan untuk mencari dan mengkaji mana pendapat yang paling kuat dan benar berdasarkan prinsip quwwah ad-dalîl (kekuataan argumentasi). Dalam masalah furû‘, meskipun kaum Muslim diperbolehkan berbeda pendapat dan pandangan, mereka diperintahkan untuk mencari dan memilih pendapat yang paling râjih dan kuat. Seorang Muslim harus beramal dengan hukum yang dianggapnya paling benar dan kuat. Ia tidak boleh beramal dengan hukum yang dianggapnya salah dan lemah. Atas dasar itu, seorang Muslim tidak boleh menolak pendapat yang lebih kuat dan râjih. Bersikukuh pada pendapat yang sudah terbukti lemah dan ringkih adalah tindakan dosa yang dicela oleh Islam. Sebab, bolehnya kaum Muslim berbeda pendapat dalam masalah furû‘ tidak menafikan wajibnya mereka mencari dan memegang pendapat yang paling kuat dan râjih.


2. GERAKAN MUHAMMADIYAH
a. Biografi dari Muhammadiyah
Ahmad Dahlan
Nama kecil K.H. Ahmad Dahlan adalah Muhammad Darwisy. Ia merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara yang keseluruhanya saudaranya perempuan, kecuali adik bungsunya.
Dalam silsilah ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali besar dan seorang yang terkemuka diantara Wali Songo, yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991).
Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin KH. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadla bin Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlullah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim (Yunus Salam, 1968: 6).
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syeh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, K.H. Hasyim Asyari. Pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawanan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah (Kutojo dan Safwan, 1991).
Disamping itu KH. Ahmad Dahlan pernah pula menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. la juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawwir Krapyak. KH. Ahmad Dahlan juga mempunyai putera dari perkawinannya dengan Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah. Beliau pernah pula menikah dengan Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta (Yunus Salam, 1968: 9).
Disamping aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mempunyai tanggung jawab pada keluarganya. Disamping itu, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup menggejala di masyarakat.
Sebagai seorang yang aktif dalam kegiatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, Dahlan juga dengan mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyatul Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad SAW.
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri bertepatan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan.
Gagasan pendirian Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan ini juga mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan datang bertubi-tubi kepadanya. la dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada yang menuduhnya kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen dan macam-macam tuduhan lain. Bahkan ada pula orang yang hendak membunuhnya. Namun rintangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi semua rintangan tersebut.
Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatannya dibatasi.
Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari dan Imogiri dan lain-Iain tempat telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya, maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain. Misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah.
Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk mengadakan pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapat bimbingan dari Muhammadiyah, yang diantaranya ialah Ikhwanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awanu alal birri, Ta'ruf bima kanu wal- Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Syahratul Mubtadi (Kutojo dan Safwan, 1991: 33).
Gagasan pembaharuan Muhammadiyah disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan mengadakan tabligh ke berbagai kota, disamping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Dahlan juga memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpin dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah AIgemeene Vergadering (persidangan umum).
b. Berdirinya Muhammadiyah berikut hal-hal yang Melatarbelakangi Berdirinya
Perserikatan Muhammadiyah sudah dikenal luas sejak beberapa puluh tahun yang lalu , oleh masyarakat Internasioanal , khususnya oleh masyarakat 'alam Ialamy. Nama Muhammadiyah sudah sangat akrab di telinga masayarkat pada umumnya .Adapun arti nama muhammadiyah dapat dilihat dari dua segi , yaitu arti bahasa atau etimologis dan arti istilah atau terminologis.
Arti Bahasa atau estimologis :Muhammadiyah berasal dari kata bahasa arab "Muhammad" yaitu nama nabi atau Rasul yang terakhir.Kemudian mendapatkan "ya nisbiyah "yang artinya menjeniskan .Jadi Muhammadiyah berarti umatnya Muhammad atau pengikut Muhammad. Yaitu semua oraqng yang menyakini bahwa Muhammad adalah hamba dan pesuruh Allah yang terakhir .Denga demikian siapapun yang beragama Islam maka dia adalah orang Muhammadiyah , tanpa dilihat atau dibatasi oleh perbedaan Organisasi, golongan bangsa , geografis , etnis , dsb.
Arti Istilah atau terminologis : Muhammadiyah adlah gerakan Islam , Dakwah AmarMakruf Nahi Munkar , berasa Islam dan bersumber Al Qur'an dan Sunah didirikan oleh KHA . Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 H, bertepatan tanggal 18 November 1912 M di kota Yogyakarta .Gerakan ini diberi nama Muhammadiyah denga maksud untuk berta'faul (berpengharapan baik )dapat menconytoh dan meneladani jejeak perjuangan nabi Muhammad SAW. dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata - mata demi terwujudnya Izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam sebagai idealita dan kemulian hidup umat Ilam sebagai realita.
Latar Belakang berdirinya Muhammadiyah
1. Faktor Subyektif
Faktor Subyektif yang sangat kuat , bahkan dikatakan sbagai faktor utama dan faktor penentu yang mendorong berdiri8nya Muhammadiyah adlah hasil pendalaman KHA . Dahlan terhadap Al Qur'an dalm menelaah , membahas dan meneliti dan menbkaji kandunagn isinya .Sikap KHA Dahlan seprti ini sesunguhnya dalam rangka melaksanakan firman Allah sebagaimana yang tersimpul dalam dalam surat An-Nisa ayat 82 dan surat MUhammad ayat 24 yaitu melakukan taddabur atau memperhatikan dan mencermati dengan penuh ketelitian terhadap apa yang tersirat dalam ayat .Sikap seperti ini pulalah yang dilakukan KHA Dahaln ketika menatap surat Ali Imran ayat 104 :"Dan hendaklah ada diantara kamu sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan , menyuruh kepada yang makruf dan mencegah yang munkar , merekalah orang - orang yanag beruntung ".
Memahami seruan diatas , KHA Dahlan tergerak hatinya untuk membangansebauh perkumpulan , organisasi atau persyarikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmad pada malaksanakan misi dakwah Islam amar Makruf Nahi Munkar di tengah masyarakat kita .
2. Faktor Objektif
Ada beberapa sebab yang bersifat objektif yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah, yang sebagian dapat dikelompokkan dalam faktor internal, yaitu faktor-faktor penyebab yang muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Islam Indonesia, dan sebagiannya dapat dimasukkan ke dalam faktor eksternal, yaitu faktor-faktor penyebab yang ada di luar tubuh masyarakat Islam Indonesia.
Faktor obyektif yang bersifat internal
a. Ketidakmurnian amalan Islam akibat tidak dijadikannya Al-Quran dan as-Sunnah sebagai satu-satunya rujukan oleh sebagian besar umat Islam Indonesia
b. Lembaga pendidikan yang dimiliki umat Islam belum mampu menyiapkan generasi yang siap mengemban misi selaku ”Khalifah Allah di atas bumi”
Faktor obyektif yang bersifat eksternal
a. Semakin meningkatnya Gerakan Kristenisasi di tengah-tengah masyarakat Indonesia
b. Penetrasi Bangsa-bangsa Eropa, terutama Bangsa Belanda ke Indonesia
c. Pengaruh dari Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam.


3. LAMBANG MUHAMMADIYAH
a. Bentuk Lambang
Lambang persyarikatan berbentuk matahari yang memancarkan dua belas sinar yang mengarah ke segala penjuru, dengan sinarnya yang putih bersih bercahaya. Di tengah-tengah matahari terdapat tulisan dengan huruf Arab; Muhammadiyah. Pada lingkaran atas yang mengelilingi tulisan Muhammadiyah terdapat: tulisan berhuruf Arab, berujud kalimat syahadat tauhid: “Asyhadu anla ila-ha illa Allah” (saya bersaksi bahwasanya tidak ada Tuhan kecuali Allah), dan pada lingkaran bagian bawah tertulis kalimat syahadat Rasul “Waasyhadu anna Muhammadan Rasulullahi” (dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah). Seluruh gambar matahari dengan atributnya berwarna putih dan terletak di atas warna dasar hijau daun.
b. Maksud Lambang
Matahari adalah merupakan salah satu benda langit ciptaan (makhluk) Allah. Dalam sistem tata surya matahari menempati posisi sentral (heliosentris) yaitu menjadi titik pusat dari semua planet-planet lain. Matahari merupakan benda langit yang dari dirinya sendiri memiliki kekuatan memancarkan sinar panas yang sangat berguna bagi kehidupan biologis semua makhluk hidup yang ada di bumi. Dan tanpa panas sinar matahari bumi akan membeku dan gelap gulita, sehingga semua makhluk hidup tidak mungkin dapat meneruskan kehidupannya.

Muhammadiyah menggambarkan jati diri, gerak serta manfaatnya sebagaimana matahari. Kalau matahari menjadi penyebab lahiriyah berlangsungnya kehidupan secara biologis bagi seluruh makhluk hidup yang ada di bumi, maka Muhammadiyah akan menjadi penyebab lahirnya, berlangsungnya kehidupan secara spiritual, rohaniyah bagi semua orang yang mau menerima pancaran sinarnya yang berupa ajaran agama Islam sebagaimana yang termuat dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah. Ajaran Islam yang hak dan lagi sempurna itu seluruhnya berintikan dua kalimat syahadat itulah digambarkan oleh surat al-Anfal 24:
”Wahai orang-orang yang beriman! penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kalian kepada sesuatu yang memberi kehidupan kepada kalian”.

Dua belas sinar matahahari yang memancar ke seluruh penjuru mengibaratkan tekad dan semangat pantang menyerah dari warga Muhammadiyah dalam memperjuangkan Islam di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia sebagai tekad dan semangat pantang mundur dan menyerah dari kaum Hawary, yaitu sahabat Nabi Isa as yang jumlahnya dua belas orang. Karena tekad dan semangatnya telah teruji secara meyakinkan maka Allah pun berkenan mengabadikan mereka dalamsalah satu ayat Al-Qur’an, yaitu surat as-Shaf ayat 14:
”Wahai’ sekalian orang yang beriman! jadikanlah kalian penolong-penolong (agama) Allah, sebagaimana ucapan Isa putra Maryam kepada kaum Hawary: ”Siapa yang bersedia menolongku (semata-mata untuk menegakkan agama Allah”), lalu segolongan banl israil beriman dan segolongan (yang kafir) kafir: maka kami berikan kekuatan kepada orang-orang yang beriman terhadap musuh-musuh mereka, maka jadilah mereka orang-orang yang menang”.

Warna putih pada seluruh gambar matahari melambangkan kesucian dan keikhlasan.Muhammadiyah dalam berjuang untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam tidak ada motif lain kecuali semata-mata mengharapkan keridlaan Allah. Keikhlasan yang menjadi inti (nucleus) ajaran ikhsan sebagaimana yang diajarkan Rasullulah benar-benar dijadikan jiwa dan ruh perjuangan Muhammadiyah, dan yang sejak awal kelahiran Muhammadiyah sudah ditanamkan oleh KHA. Dahlan. Sebab telah diyakini secara sungguh-sungguh bahwa setiap perjuangan yang didasari oleh iman dan ikhlas maka kekuatan apapun tidak ada yang mampu mematahkannya (lihat surat Shadd 73-85, as-Shaffat 138, al-A’raf 11-18).

Warna hijau yang menjadi warna dasar melambangkan kedamaian dan kesejahteraan. Muhammadiyah berjuang di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia dalam rangka merealisasikan ajaran agama Islam yang penuh dengan kedamaian, selamat dan sejahtera bagi umat manusia (al-Anbiya’ ayat 107).

5. MAKSUD DAN TUJUAN MUHAMMADIYAH
Maksud dan tujuan Muhammadiyah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah dapat di jelaskan sebagai berikut:
a. Menegakkan, berarti membuat dan mengupayakan agar tetap tegak dan tidak condong apalagi roboh, yang semua itu dapat terealisasikan manakala sesuatu yang ditegakkan tersebut diletakkan di atas fondasi, landasan atau asas yang kokoh dan solid, dipegang erat-erat, dipertahankan, dibela serta diperjuangkan dengan penuh konsekuen.
b. Menjunjung Tinggi, berarti membawa atau menjujung di atas segala-galanya, mengindahkan serta menghormatinya.
c. Agama Islam, yaitu agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa sampai kepada nabi penutup Muhammad saw sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang zaman, serta menjamin kesejahteraan hakiki duniawi maupun ukhrawi.
d. Terwujud, berarti menjadi satu kenyataan akan adanya atau akan wujudnya.
e. Masyarakat Utama, yaitu masyarakat yang senantiasa mengejar keutamaan dan kemaslahatan untuk kepentingan hidup umat manusia, masyarakat yang selalu bersikap takzim terhadap Allah, Tuhan Yang Maha Esa, mengindahkan dengan penuh keikhlasan terhadap ajaran-ajaran-Nya, serta menaruh hormat terhadap sesama manusia selaku makhluk Allah yang memiliki martabat absanu taqwim.
f. Adil dan makmur, yaitu suatu kondisi masyarakat yang di dalamnya terpenuhi dua kebutuhan hidup yang pokok, yaitu:
1. Adil, suatu kondisi masyarakat yang positif dari aspek batiniah di mana keadaan ini bilamana dapat diwujudkan secara konkret, riil atau nyata maka akan terciptalah masyarakat yang damai, aman, dan tentram.
2. Makmur, yaitu suatu kondisi masyarakat yang positif dari aspek lahiriah, yang sering digambarkan secara sederhana dengan rumusan terpenuhinya kebutuhan sandang, papan dan kesehatan. Suatu keadaan masyarakat yang makmur sejahtera, melimpah ruah segala kebutuhan aspek materiilnya, dan sepi dari jerit tangisnya orang yang kelaparan dan kesusahan.
3. Yang diridlai Allah Subhanahu Wata’ala, artinya dalam rangka mengupayakan terciptanya keadilan dan kemakmuran masyarakat maka jalan dan cara yang ditempuh haruslah selalu bermotifkan semata-mata mencari keridlaan Allah belaka. Rumusan tujuan persyarikatan seperti di atas sesungguhnya searti dan sejiwa dengan gambaran masyarakat.

6. KHITTAH MUHAMMADIYAH
Sebagaimana ditegaskan dalam Matan Keyakinan dan cita-cita hidup Muhammadiyyah, bahwa “ Muhammadiyyah adalah Gerakan berasas Islam, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, untuk melaksanakn fungsi dan missi manusia senagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi “.
Untuk mencapai cita-cita tersebut, diperlukan pedoman yang berisi arah, kebijaksanaan dan langkah-langkah yang harus ditempuh sehingga usaha yang dilakukan itu benar-benar dapat mewujudkan cita-cita yang diidamkan. Pedoman itu lebih-lebih diperlukan, karena dalam perjalanan hidupnya, Muhammadiyyah senantiasa menghadapi berbagai macam persoalan dan mengalami situasi yang berubah ubah. Tanpa pedoman dapatlah dipastikan akan terjadinya kesimpangsiuran perjuangan serta keragu-raguan dalam menghadapi situasi yang selalu berubah itu. Pedoman itulah yang dalm kehidupan Muhammadiyyah dikenal dengan istilah “Khittah Perjuangan”.
Dalam perjalanan Muhammadiyyah dari masa ke masa, telah beberapa kali ditetapkan Khittah Perjuangan. Yang terakhir kalinya adalah Khittah perjuangan keputusan Mu’tamar Muhammadiyyah ke 40 di Surabaya. Dengan ditetapkan Khittah Perjuangan oleh Mu’tamar Muhammadiyyah ke 40 itu tidak berarti bahwa Khittah-khittah perjuangan yang telah ditetapkan sebelumnya lantas menjadi tidak berlaku lagi. Dalam sejarah kehidupan Muhammadiyyah, khittah-khittah Perjuangan yang telah ditetapkan sebelumnya lantas menjadi tidak berlaku lagi. Hal itu tentu saja sepanjang materi dari Khittah-khittah Perjuangan tidak bertentangan dengan materi dari Khittah Perjuangan yang ditetapkan kemudian.
Dalam Khittah Perjuangan Muhammadiyyah Keputusan Mu’tamar ke 40, sesuai dengan persoalan dan situasi yang tengah dihadapi dan diperhitungakan akan dihadapi oleh Muhammadiyyah, ditonjolkan kembali hakekat Muhammdiyyah sebagai Gerakan Islam serta hubungannya dengan lapangan yang telah dipilihnya, yaitu masyarakat. Di samping itu juga ditonjolkan hubungan Muhammadiyyah dengan masalah politik dan ukhuwah Islamiyah.
Berdasarkan pendirian terhadap masalah – masalah yang ditonjolkan itu, akhirnya Khittah Perjuangan itu menggariskan program jangka pendek yang harus dijabarkan dan dilaksanakan oleh segenap warga Muhammadiyah.

Program jangka pendek itu adalah sebagai berikut :
Ø Memulihkan kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagai anggota masyarakat terdiri dari muslimin dan muslimat yang beriman teguh, taat beribadah, berakhlak mulia dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat.
Ø Meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara dalam Negara-Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan – persoalan dan kesuliatan kehidupan masyarakat.
Ø Menempatkan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai pusat gerakan untuk melaksanakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi munkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta disegala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasial dan Undang - Undang Dasar 1945.

Khittah Perjuangan Muhammadiyah, pola dasar Perjuangannya adalah :
Muhammadiyah berjuang untuk mencapai/ mewujudkan suatu cita-cita dan keyakinan hidup, yang bersumber paa ajaran Islam.
Dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar dalam arti dan proporsi yang benar-benar.


7. AMAL USAHA MUHAMMADIYAH (AUM)
Dengan maksud dan tujuan Muhammadiyah yang luas dan besar itu, maka luas dan besar pula amal usaha Muhammadiyah. Sudah barang tentu pada mulanya belum sebesar yang ada sekarang ini. Lebih-lebih pada saat itu banyak rintangan dan halangan yang dihadapi, baik dari ulama-ulama yang belum dapat menerima cara pemahaman agama Islam KHA. Dahlan maupun kaum pemegang adat yang gigih mempertahankan tradisi nenek-moyangnya.
Usaha yang mula-mula, disamping dalam bidang pendidikan dengan mendirikan sekolah Muhammadiyah lebih banyak ditekankan pada pemurnian tauhid dan ibadah dalam Islam seperti:
Meniadakan kebiasaan menujuhbulani (jawa=tingkep), yaitu selamatan bagi orang hamil pertama kali memasuki bulan ke tujuh, kebiasaan ini merupakan peninggalan dari adat jawa kuno, biasanya diadakan engan membuat rujak dari kelapa muda yang belum berdaging yang dikenal dengan nama cengkir dicampur dengan berbagai bahan-bahan lain seperti buah delima, buah jeruk, dan lain-lain.
Menghilangkan tradisi keagamaan yang tumbuh dari kepercayaan Islam sendiri. Seperti: selamatan untuk menghormati Syekh Abdul Kadir Jaelani, Syekh Saman dan lain-lain yang dikenal dengan manakiban; perayaan dimana banyak diisi dengan puji-pujian serta meminta syafaat (pertolongan) kepada tokoh yang sedang diperingatinya. Selain itu terdapat pula kebiasaan membaca barzanji yaitu suatu karya puisi serta syair-syair yang mengandung banyak pujian kepada Nabi Muhammad SAW yang disalahartikan.
Bacaan surat Yasin dan bermacam-macam dzikir yang khusus dibaca pada malam Jum’at, dan hari-hari tertentu adalah suatu bid’ah. Begitu pula ziarah hanya pada waktu-waktu tertentu dan pada kuburan tertentu; ibadah yang tidak ada dasarnya dalam agama, juga harus ditinggalkan;yang boleh ialah ziarah kubur dengan tujuan untuk mengingat adanya kematian pada setiap makhluk Allah.
Selain yang disebut diatas, sebagai usaha untuk menegakkan aqidah Islam yang murni serta mengamalkan ibadah yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad, masih banyak lagi usaha-usaha di bidang keagamaan, pendidikan, kemasyarakat dan politik yang telah dan sedang dilaksanakan Muhammadiyah
Sudah menjadi ciri dalam Muhammadiyah adanya semboyan “sedikit bicara banyak bekerja”, tidak saja sekedar semboyan di bibir saja, tetapi sungguh-sungguh dibuktikan dengan amaliyah. Oleh karena itu tidak mengherankan, bila Muhammadiyah yang hanya memiliki jumlah anggota yang tidak begitu banyak, tetapi cukup banyak dan luas amal usaha serta hasil-hasilnya. Hal ini dapat dibuktikan, sebagai berikut:
1. Bidang Keagamaan
Pada bidang inilah sesungguhnya pusat seluruh kegiatan muhammadiyah, dasar dan jiwa setiap amal usaha muhammadiyah. Dan apa yang dilaksanakan dalam bidang-bidang lainnya tidak lain dari dorongan keagamaan semata-mata.
o Terbentuknya Majlis Tarjih (1927), suatu lembaga yang menghimpun ulam-ulama dalam Muhammadiyah yang secara tetap mengadakan permusyawaratan dan memberi fatwa-fatwa dalam bidang agama serta memberi tuntunan mengenai hukum yang sangat bermanfaat bagi khalayak umum
o Terbentuknya Departemen Agama Republik Indonesia tidak terlepasdari kepeloporan pemimpin Muhammadiyah. Oleh karena itu pada tempatnya bila menteri Agama yang pertama dipercayakan di pundak tokoh muhammadiyah, dalam hal ini H. Moch. Rasyidi B. A.
2. Bidang Pendidikan
Salah satu sebab didirikannya Muhammadiyah ialah karena lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sudah tidak memenuhi lagi kebutuhan dan tuntutan zaman. Tidak saja isi dan metode pengajarannya yang tidak sesuai, bahkan sistem pendidikannya pun harus diadakan perombakan yang mendasar.
Maka dengan didirikannya sekolah yang tidak lagi memisah-misahkan antara pelajaran yang diangap agama dan pelajaran yang digolongkan ilmu umum, pada hakikatnya merupakan usaha yang sangat penting dan besar. Karena dengan sistem tersebut bangsa Indonesia dididik menjadi bangsa yang utuh kepribadiannya, tidak terpecah belah menjadi pribadi yang berilmu umum atau berilmu agama saja.
Karena tidak mungkin menghapus sama sekali sistem sekolah umum dan sistem pesantren, maka ditempuh usaha perpaduan antara keduanya,yaitu dengan:
o Mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan ke dalamnya ilmu-ilmu keagamaan dan
o Mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan pengajaran ilmu-ilmu pengetahuan umum.
Dengan usaha perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan dimana ilmu agama dan ilmu umum. Semuanya adalah perintah dan dalam naungan agama.
3. Bidang Kemasyarakatan
Muhammadiyah adalah suatu gerakan Islam yang mempunyai tugas dakwah Islam dan amar makruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan. Sudah dengan sendirinya bayak usaha-usaha ditempatkan dalam bidang kemasyarakatan, seperti:
o Mendirikan rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan segala peralatan, membangun balai-balai pengobatan, rumah bersalin, apotik dan sebagainya.
o Mendirikan panti-panti asuhan anak yatim baik putra maupun putri, untuk menyantuni mereka.
o Mensirikan perusahaan percetakan, penerbitan dan took buku, yang benyak mempublikasikan majalah-majalah, brosur dan buku-buku yang sngat membantu penyebarluasan faham-faham keagamaan, ilmu dan kebudayaan Islam.
o Pengusahaan dan bantuan hari tua: yaitu dana yang diberikan pada saat seseorang tidak lagi bisa bekerja karena usai telah atau cacat jasmani sehingga memerlukan pertolongan.
o Memberikan bimbingan dan penyuluhan keluargas mengenai hidup sepanjang tuntunan Illahi.
4. Bidang Politik Kenegaraan
Muhammadiyah bukan suatu organisasi politik dan tidak akan menjadi partai politik. Meskipun demikian, dengan keyakinannya bahwa agama islam adalah agama yang mengatur segenap kehidupan manusia di dunia ini maka dengan sendirinya segala hal yang berhubungan dengan dunia juga menjadi bidang garapannya, tak terkecuali soal-soal politik kenegaraan. Akan tetapi, jika Muhammadiyah ikut bergerak dalam urusan kenegaraan dan pemerintahan, tetap dalam batas-batasnya sebagai Gerakan Dakwah Islam Amr Makruf Nahi Munkar, dan sama sekali tidak bermaksud menjadi sebuah partai politik.
Tak dapat disebutkan satu persatu seluruh perjuangan Muhammadiyah yang dapat digolongkan ke dalam bidang politik kenegaraan, hanya beberapa diantaranya:
o Pengadilan Agama di zaman kolonial berada dalam kekuasaan penjajah tentu saja beragama Kristen. Agar urusan agama di Indonesia yang sebagian besar penduduknya beragama Islam, juga dipegang oleh orang muslim, Muhammadiyah berjuang ke arah cita-cita itu.
o Ikut mempelopori berdirinya Partai Islam Indonesia. Begitu pula pada tahun 1945 termasuk menjadi pendukung utama berdirinya Partai Masyumi dengan gedung Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah Yogyakarta sebagai tempat kelahirannya.
o Ikut aktif dalam keanggotaan MIAI (Majelis A’la Indonesia) dan menyokong sepenuhnya tuntutan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar Indonesia mempunyai parlemen di Zaman penjajahan. Begitu pula pada kegiatan Islam Internasional, seperti Konferensi Islam Asia Afrika, dan Muktamar Masjid se Dunia dan sebaginya Muhammadiyah aktif mengambil bagian di dalamnya.
Apa yang telah dikemukakan di atas merupakan sebagian dari Amal Usaha Muhammadiyah selama ini. Kini serta esok terus beramal tak ada henti-hentinya, sebgaimana firman Allah: “Dan katakanlah! Beramallah kamu semua, niscaya Allah, Rasul-Nya serta orang-orang mukminin akan menjadi saksi”. Firman Allah ini ditulis dengan indah dan menghiasi di atas pintu gedung Muhammadiyah, markas dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta.


8. PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH
Tentang Perkembangan Muhammadiyah Sebelum, Sesudah dan Sampai Sekarang?
Dengan iman dan amal shalih Muhammadiyah terus maju dan berkembang kemana-mana. Tak sedikit halangan dan tantangan, semuanya dihadapi dengan sabar dan tawakal, yang lahirnya membuahkan hasil kebesaran dan keluasan gerakan Muhammadiyah. Sejak dari ujung barat sampai tapal batas paling timur, dari wilayah paling utara maupun selata indonesia, telah dimasuki Muhammadiyah. Hal tersebut membuktikan bahwa Muhammadiyah memang bisa diterima oleh masyarakat indonesia, disamping karena keuletan dan ketekunan mubaligh-mubalighnya dalam menyiarkan islam sesuai dengan faham yang diyakini Muhammadiyah. Secara garis besar perkembangan Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi:
PERKEMBANGAN SECARA VERTIKAL; yaitu perkembangan dan perluasan gerakan Muhammadiyah ke seluruh penjuru tanah air, berupa berdirinya wilayah-wilayah di tiap-tiap propinsi, daerah-daerah di tiap-tiap kabupaten/kotamadya, cabang-cabang dan ranting-ranting serta jumlah anggota yang bertebaran di mana-mana.
PERKEMBANGAN SECARA HORIZONTAL; yaitu perkembangan dan perluasan amal usaha Muhammadiyah, yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Hal ini dengan pertimbangan karena bertambah luas serta banyaknya hal-hal yang harus diusahakan oleh Muhammadiyah, sesuai dengan maksud dan tujuannya. Maka dibentuklah kesatuan-kesatuan kerja yang berkedudukan sebagai badan pembantu pimpinan persyarikatan. Kesatuan-kesatuan kerja tersebut berupa majelis-majelis dan badan-badan.
Di samping majlis dan lembaga, terdapat organisasi Otonom, yaitu organisasi yang bernaung di bawah organisasi induk, dengan masih tetap memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam Persyarikatan Muhammadiyah organisasi otonom (ORTOP) ini ada beberapa buah, yaitu:
- ’Aisyiyah
- Nasyiatul ’Aisyiyah
- Pemuda Muhammadiyah
- Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM)
- Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
- Tapak Suci Putra Muhammadiyah
- Gerakan Kepanduan Hizbul-Wathan.

Organisasi otonom yang terdiri dari N. A, Pemuda Muhammadiyah, IRM, IMM, Tapak Suci Putra Muhammadiyah dan Gerakan Kepanduan Hizbul-Wathan ini termasuk kelompok Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) di mana keenam organisasi otonom ini berkewajiban mengemban fungsi sebagai pelopor, pelangsung dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah.


9. PERIODISASI KEPEMIMPINAN MUHAMMADIYAH
a. Periode KH. Ahmad Dahlan (1912-1923)
Pada saat ini merupakan masa-masa perintisan, pembentukan jiwa dan amal usaha serta organisasi, sehingga Muhammadiyah menduduki tempat terhormat, sebagai gerakan Islam di Indonesia yang berfaham modern.

b. Periode KH. Ibrahim (1923-1932)
Dalam masa ini Muhammadiyah semakin berkembang meluas sampai ke daerah-daerah luar Jawa. Selain itu terbentuk pula Majlis Tarjih yang menghimpun para ulama Muhammadiyah untuk mengadakan penelitian dan pengembangan hukum-hukum agama. Dan dalam periode ini pula angkatan muda memperoleh bentuk organisasi yang nyata, di mana pada tahun 1931 Nasyiatul ’Aisyiyah berdiri dan menyusul satu tahun kemudian Pemuda Muhammadiyah.

c. Periode KH. Hisyam (1932-1936)
Usaha-usaha dalam bidang pendidikan mendapatkan perhatian yang mantap, karena dengan pendidikan bisa lebih banyak diharapkan tumbuhnya kader-kader umat dan bangsa yang akan meneruskan amal usaha Muhammadiyah. Juga dalam periode ini diadakan penertiban dan pemantapan administrasi organisasi sehingga Muhammadiyah lebih kuat dan lincah gerakannya.

d. Periode KH. Mas Mansur (1936-1942)
Sering dikatakan bahwa tokoh KH. Mas Mansur adalah salah seorang pemimpin Muhammadiyah yang ikut membentuk dan megisi jiwa gerakan Muhammadiyah, sehingga lebih berisi dan mantap, seperti dengan pengokohan kembali hidup beragama serta penegasan faham agama dalam Muhammadiyah. Wujudnya berupa pengaktifan Majlis Tarjih, sehingga mampu merumuskan ”Masalah Lima”, yaitu perumusan mengenai: Dunia, Agama, Qiyas, Sabilillah dan Ibadah.
Selain itu untuk menggerakan kembali Muhammadiyah agar lebih dinamis dan berbobot, disusun pula ”langkah dua belas yaitu:
a. Memperdalam masuknya iman
b. Memperluas faham agama
c. Memperluas budi pekerti
d. Menuntun amal intiqad (mawas diri)
e. Menguatkan keadilan
f. Menegakkan persatuan
g. Melakukan kebijaksanaan
h. Menguatkan majelis tanwir
i. Mengadakan konperensi bagian
j. Mempermusyawarahkan gerakan luar .

e. Periode Ki Bagus Hadikusumo (1942-1953)
Dalam periodenya tersusun Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Dalam Muqaddimah tersebut terumuskan secara singkat dan padat gagasan dan pokok-pokok pikiran KH. Ahmad Dahlan yang akhirnya melahirkan Muhammadiyah. Dengan tersusunnya Muqaddimah tersebut Muhammadiyah memiliki dasar berpijak yang kuat dalam melancarkan amal usaha dan perjuangannya.
Kondisi sosial politik pada masa jabatan Ki Bagus Hadikusumodalam suasana transisi dari penjajah Belanda, usaha-usaha pemerintah Koloni Belanda untuk menjajah Indonesia kembali dan revolusi kemerdekaan. Pada masa ini kehidupan Muhammadiyah cukup berat. Pada masa itu para pemimpin Muhammadiyah banyak terlibat dalam perjuangan, sementara di tingkat bawah hampir seluruh angkatan muda Muhammadiyah terjun dalam kancah revolusi dalam berbagai laskar kerakyatan. Meskipun demikian Muhammadiyah masih dapat melaksanakan berbagai kegiatan keorganisasian.

f. Periode A. R. Sutan Mansyur (1952-1959)

g. Periode H. M. Yunus Anis (1959-1968)

h. Periode KH. Ahmad Badawi (1962-1968)
Beliau dipilih dalam Muktamar ke 35 di Jakarta tahun 1962 dan Muktamar ke 36 di Bandung tahun 1965 sebagai formatur tunggal. Pada masa jabatan beliau ini Muhammadiyah mengalami ujian berat karena Muhammadiyah harus berjuang keras untuk mempertahankan eksistensinyaagar tidak dibubarkan. Sebagaimana diketahui pada masa itu kehidupan politik di Indonesia didominasi oleh PKI dan Bung Karno, Presiden RII banyak memberi angin pada PKI. Pada masa itu PKI dengan seluruh ormas mantelnya berusaha menekan partai-partai Islam khususnya Masyumi dan kebetulan Muhammadiyah termasuk salah satu pendukung Masyumi. Karena itu eksistensi Muhammadiyah juga ikut terancam. Namun demikian berkat usaha keras beliau bersama pemimpin Muhammadiyah, Allah masih melindungi Muhammadiyah.

i. Periode KH. Fakih Usman/H. A. R. Fakhrudin (1968-1971)
Tidak beberapa lama setelah Muktamar ke 37 di Yogyakarta mengukuhkan KH. Fakih Usman sebagai ketua pimpinan pusat Muhammadiyah, beliau dipanggil kembali ke hadirat Allah SWT. Kemudian H. Abdurrazak Fakhruddin, yang dalam susunan Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode (1968-1971) duduk sebagai ketua I oleh sidang Tanwir ditetapkan sebagai pengganti beliau. Pada periode ini lebih menonjol usaha ”memuhammadiyahkan kembali Muhammadiyah”. Yaitu usaha untuk mengadakan pembaharuan pada diri dan dalam Muhammadiyah sendiri. Baik pembaharuan (tadjid) dalam bidang ideologinya, dengan merumuskan ”Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah”, maupun dalam bidang organisasi dan usaha perjuangannya dengan menyusun ”Khittah Perjuangan dan bidang-bidang lainnya”.

j. Periode KH. Abdur Razak Fakhruddin (1971-1990)
Pada periode ini usaha untuk meningkatkan kualitas Persyarikatan selalu diusahakan, baik kualitas organisasi maupun kualitas operasionalnya. Peningkatan kualitas organisasi meliputi tajdid di bidang keyakinan dan Cita-cita hidup serta Khittah dan tajdid organisasi. Sedang peningkatan kualitas operasionalnya meliputi intensifikasi pelaksanaan program jama’ah dan dakwah jamaah serta pemurnian amal usaha Muhammadiyah.
Pda masa jabatan beliau ada masa krisis yaitu keharusan untuk menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya azas. Pada masa jabatan beliau juga terjadi peristiwa penting yaitu Kunjungan Paus Yohanes Paulus II dan sebagai reaksi terhadap kunjungan itu beliau mengeluarkan buku ’Mangayubagya Sugeng Rawuh lan Sugeng Kondur’, yang isinya bahwa Indonesia adalah negara yang penduduknya sudah beragama Islam jadi jangan menjadikan rakyat sebagai obyek Kristenisasi.

k. Periode KH. A. Azhar Basyir, MA (1990-1995)
Pada periode KH. A. Azhar Basyir MA telah dirumuskan:
A). Program Persyarikatan Muhammadiyah jangka panjang (25 tahun) yang meliputi:
1. Bidang Konsolidasi Gerakan
2. Bidang Pengkajian dan Pengembangan
3. Bidang Kemasyarakatan.
B). Program Muhammadiyah (1990-1995)
1. Bidang Konsolidasi Gerakan, meliputi:
- Konsolidasi Organisasi
- Kaderisasi dan Pembinaan AMM
- Bimbingan keagamaan
- Peningkatan hubungan dan kerjasama
2. Bidang Pengkajian dan Pengembangan, meliputi:
- Pengkajian dan Pengembangan Pemikiran Islam
- Penelitian dan Pengembangan
- Pusat informasi, Kepustakaan dan Penerbitan
3. Bidang Dakwah, Pendidikan dan Pembinaan Kesejahteraan Umat, meliputi:
a. Kenyakinan Islam
b. Pendidikan
c. Kesehatan
d. Sosial dan Pengembangan Masyarakat
e. Kebudayaan
f. Partisipasi kelompok.

l. Periode Prof. DR. H. M. Amien Rais/Prof. DR. H. A. Syafii Maarif (1995-2000)
Pada periode Prof. Dr. H. M. Amien Rais, telah dirumuskan program Muhammadiyah tahun 1995-2000, dengan mengacu kepada:
a. Masalah Global
b. Masalah Dunia Islam
c. Masalah nasional
d. Permasalahan Muhammadiyah
e. Pengembangan pemikiran, yang terdiri atas:
- Pemikiran keagamaan
- Ilmu dan Teknologi
- Pengembangan basis ekonomi
- Gerakan sosial kemasyarakatan
- PTM sebagai basis gerakan keilmuan/pemikiran.

10.TIGA IDENTITAS MUHAMMADIYAH
a. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam Dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al Qur'an. Dan apa yang digerakkan oleh Muhammadiyah tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam kehidupan yang riel dan kongkrit. b.Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah IslamMuhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam, Amar Ma’ruf nahi mungkar. Ciri ini telah muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tak terpisahkan dalam jati diri Muhammadiyah. Namun sudah menjadi tanggung jawab Muhammadiyah juga sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar untuk meluruskan kembali niatan awal berdirinya Muhammadiyah yang sesuai dengan cita-cita pemikiran Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dapat mengangkat agama Islam dan keterbelakangan atau kebodohan massifTidak hanya ranah pemahaman agama yang diluruskan namun juga ranah pemahaman maksud dan tujuan organisasi Muhammadiyah, karena Muhammadiyah adalah pure sebuah organisasi kemasyarakatanc..Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid (Reformasi)Ciri ketiga ini yang melekat pada persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Tajdid atau pembaharu. Apabila dari makna dalam segi bahasa Tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah tajdid memiliki dua arti yakni : Pemurnian Peningkatan, pengembangan, modernisasi sudah menjadi tugas Muhammadiyah bila “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan sumber Al Qur'an dan As Sunnah shahihSedangkan arti “Peningkatan, pengembangan, modernisasi” tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al Qur'an dan AS Sunnah shahih. Di samping itu ternyata bila diamati Muhammadiyah mempunyai PR untuk menjawab tantangan zaman dan arus globalisasi yang terus melaju.Ø Pemurnian (Purifikasi)Tugas/PR pertama Muhammadiyah adalah purifikasi kembali kepribadian Muhammadiyah yang mulai terinfeksi virus yang akan melencengkan kepribadian Muhammadiyah.Ø Peningkatan, pengembangan, modernisasiTak melenceng dari awal pemberdayan pemikiran sang pendiri Muhammadiyah maka sebagai tantangan zaman tugas/PR kedua Muhammadiyah adalah meningkatkan etos kerja segala bidang baik dalam dakwah maupun amal usaha Muhammadiyah. Dan mengembangkan serta melebarkan sayap Muhammadiyah dalam penerimaan arus informasi global sebagai tameng kebodohan massif Muhammadiyah. Modernisasi Muhammadiyah bukan berarti meninggalkan dasar pemikiran pertama kali berdirinya, tapi Muhammadiyah dapat up to date bukan berarti berganti baju untuk beridentitas ideologi baru namun Muhammadiyah tetap eksis dalam kepribadian Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang tak usang dimakan zaman atau kuno tertinggal arus modernisasi.




KESIMPULAN
Dengan melihat gejala yang ada, yang berkelut di tubuh muhammadiyah mau tidak mau harus segera di cari obat penawar agar muhammadiyah tetap dapat sehat seperti sedia kala, sementara di sisi ideologi muhammadiyah sudah semestinya penyimpang dari pondasi awal pemikiran pemberdayaan Ahmad Dahlan perlu adanya purifikasi kembali, agar nantinya tidak terjadi “matinya institusi organisasi dalam hal ini muhammadiyah (The Death of Muhammadiyah) bukan hal yang mustahil akan terjadi manakala muhammadiyah beserta warganya tidak lagi mampu menjawab tantangan zaman. Lebih-lebih, bila tidak punya sense of belonging (rasa kepemilikan) terhadap organisasi karena lemahnya ideologi dan minimnya informasi serta wawasan tentang ke-muhammadiyahan.
Dengan demikian warga muhammadiyah masih perlu mempelajari gagasan dan pemikiran KH.Ahmad Dahlan. Terutama yang berkaiatn dengan masalah sholat tepat waktu dan pengamalan ayat-ayat al-qur’an, hal itu tidak dimaksud untuk mengikuti jejaknya secara dokmatik tetapi untuk memberi makna kreatif dan inotvatif.










sumber buku : Drs H Mustafa Kaml Pasha , B. Ed, Ahmad Adaby Darban , SU Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis)